Oleh: Dra Erna Hikmati Hidayah
Foto: Google image
Keluarga yang ideal yaitu keluarga yang dibangun berdasarkan rencana dan visi yang matang dari calon ayah dan calon ibu.
Foto: Dokumen pribadi
Namun demikian, seandainya masa perencanaan tersebut sudah dilewati, tidak ada istilah terlambat untuk memulai hal yang baik. Setiap orang dapat mengambil pelajaran kemudian meneladani orang lain untuk perbaikan diri dan lingkungannya. Jika unit terkecil masyarakat yaitu keluarga-keluarga di Indonesia, memiliki praktik-praktik baik yang kemudian mampu menginspirasi keluarga-keluarga lainnya, maka akan terbentuklah masyarakat yang baik juga.
Salah satu praktik baik tersebut adalah menggali dan mengembangkan kemampuan literasi anggota keluarga. National Institute for Literacy memberikan definisi literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Tidak banyak keluarga yang menyadari bahwa kemampuan literasi dapat digali dan dikembangkan dalam keluarga sejak anak masih bayi, bahkan sejak di dalam kandungan.
Pada kondisi saat ini, banyak keluarga pasrah kepada pihak sekolah dalam mengembangkan kemampuan literasi anak-anak mereka. Yaitu literasi yang menurut mereka sebatas, membaca, menulis dan berhitung saja.
Sesungguhnya literasi tidak saja diartikan sebagai kemampuan membaca buku dan menulis kalimat-kalimat dan berhitung saja. Tiga kemampuan literasi tersebut dikategorikan sebagai bagian dari literasi dasar. Secara umum, bentuk literasi yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain:
1. Literasi dasar,
Foto: Google image
2. Literasi perpustakaan,
Foto: koleksi pribadi
3. Literasi media,
Foto: Google image
4. Literasi teknologi,
Foto: Google image
5. Literasi visual.
Jenis literasi ini merupakan literasi tingkat lanjut. Anak harus cermat menggunakan indera
penglihatannya untuk mampu mencermati hal-hal yang dibuat oleh orang dewasa itu manipulasi atau bukan. Dengan kemampuan literasinya, anak diharapkan akan mampu
memutuskan, apakah hal tersebut perlu ditiru atau tidak.
Foto: Google image
Kelima bentuk literasi tersebut jika benar-benar ditelateni untuk ditumbuhkan pada pribadi anak secara optimal, niscaya akan berkembang menjadi ketrampilan literasi yang luar biasa.
Banyak orangtua salah langkah dalam usaha mengembangkan kemampuan literasi anak-anak mereka. Di rumah, anak diajari membaca dan kemampuan literasi lainnya dengan emosi orangtua yang kadang tidak terkendali. Emosi atau kemarahan orang tua seperti ini, biasanya terjadi karena kemampuan yang diinginkannya pada diri anak, tidak sama dengan kenyataan yang ada pada diri anak. Dengan kata lain : idealita jauh berbeda dengan realita. Alhasil, dengan belajar dibawah kemarahan tersebut, justru semakin menutup jalan cerdas bagi si anak.
Hasil penelitian Martin Teicher (Psikiater ahli perkembangan otak) menyebutkan bahwa setiap bentakan orangtua kepada anak akan menyebabkan perubahan struktur otak. Karena saluran yang menghubungkan antara belahan otang kanan dan belahan kiri akan mengecil. Hal ini berakibat pada dewasa nanti akan muncul depressi, kecemasan, gangguan kepribadian, dan lain lain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dr Laura Markham. Dia mengamati tentang penurunan hubungan antara orangtua yang sering marah-marah kepada anaknya. Anak yang sering dimarahi akan cenderung menunjukkan ketakutan dan rasa khawatir meninggi saat bertemu dengan orangtua mereka. Secara emosional, mereka lebih tertutup, bahkan menutup diri.
Agar literasi anak sejak dini terbangun bukan di bawah emosi/ kemarahan orangtua, melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca mengenal strategi untuk membimbing anak tidak sekedar pintar membaca buku, tetapi juga pintar membaca situasi kondisi (peka) dan akhirnya peduli terhadap sesama. Strategi yang saya maksud adalah strategi Bukuku (Buku Untukku dan Anakku)
Strategi BUKUKU
Saya sebut strategi ini adalah BUKUKU, yaitu Buku Untukku dan Anakku. BUKUKU merupakan suatu cara menumbuhkembangkan literasi, yang dimulai dari keluarga.
Orangtua adalah model bagi setiap anaknya dalam segala hal, salah satunya adalah terkait dengan pengembangan literasi anak. Sebagai model, orangtua harus memberi contoh yang baik. Jangan pernah berharap anak suka dan hobi membaca buku, jika orangtua tidak pernah terlihat di depan anak beraktifitas membaca buku. Model ada yang alami, dan ada yang sengaja dibuat/ diciptakan di dalam rumah.
Orangtua yang peduli, akan menciptakan model di dalam rumah. yang dapat dicontoh dan ditiru anak. Misalnya orangtua meluangkan waktu beberapa menit khusus bersama anak, untuk membaca dan lepas gadget. Pada kesempatan seperti itu, orangtua dapat membuat kesepakatan-kesepakatan bersama anak melalui diskusi, tanpa menggurui dan membebani. Salah satu yang dapat diusulkan orangtua kepada anak adalah dengan cara saling menceritakan isi buku ataupun berita di majalah atau koran yang telah dibaca.
Setelah berjalan beberapa waktu, dicoba mengarahkan kesimpulan bacaan orangtua dan anak tersebut untuk dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungan tempatnya tinggal. Hal ini dimaksudkan untuk mengasah ketajaman wawasan dan empati anak terhadap orang lain.
Setelah beberapa bulan terlatih, orangtua dan anak mencoba menuangkan pikirannya atau ceritanya tadi ke dalam coretan-coretan ringan.
Coretan-coretan ringan kemudian difoto atau discan, dikumpulkan menjadi semacam portofolio tulisan orangtua dan anak.
Selanjutnya secara diam-diam, orangtua mencarikan penerbit yang siap mengubah portofolio tersebut menjadi sebuah buku sederhana. Yakinlah ayah/ ibu….Anak Anda akan super gembira jika tulisannya secara mengejutkan menjadi sebuah buku. Belum lagi jika melihat fotonya terpampang di dalam buku, walaupun sekedar biodata.
Saat anak gembira itulah, ribuan ide kreatif akan muncul di dalam otak. Tinggallah selanjutnya orangtua menyusun proyek lagi bersama anak untuk menampung ide-ide kreatif tersebut.
Syarat Utama Menerapkan strategi BUKUKU dalam keluarga
1. Sadar literasi
Orangtua harus paham betul pentingnya literasi untuk masa depan anak.
2. Menyukai tantangan
Orangtua dan anak harus suka tantangan. Tantangan tidak selalu berkaitan dengan kekerasan fisik. Tantangan pejuang literasi terletak di dalam pikiran dan hati. Untuk itu orangtua harus merasa tertantang untuk menggandeng anaknya menjadi insan yang berkembang optimal. Dan tertantang mengusir rasa malas.
3. Kemauan untuk mencoba
Orangtua dan anak wajib hukumnya mencoba menuliskan apa saja. Tanpa mencoba menulis, maka impian hanya sekedar impian. Maka tulislah impian itu dalam kertas, niscaya akan mendekatkan pada kenyataan.
4. Lapang hati
Dalam menghadapi tantang dan mencoba, pasti akan bertemu dengan kegagalan dan kekecewaan akan hasil. Untuk itu diperlukan kelapangan hati untuk menerima setiap kegagalan dan tidak boleh pasrah dengan kegagalan tersebut. Lebih baik pernah mencoba dan gagal, daripada tidak pernah mencoba sama sekali untuk menulis.
Peran masyarakat dalam penerapan strategi BUKUKU
Memiliki hasil karya, belumlah lengkap jika tidak dikenalkan kepada oranglain. Demikian juga dengan hasil dari BUKUKU. Akan menjadi sebuah motivasi besar, jika anak diajak untuk memperkenalkan hasil karyanya kepada masyarakat di sekitarnya. Bisa masyarakat di lingkungan tempat tinggal, masyarakat di sekolah anak, masyarakat di kantor orangtua, dan lain-lain. Dari sinilah anak akan mendapatkan pengalaman luarbiasa akan apresiasi masyarakat. Dan ke depannya, akan lebih produktif lagi.
Selamat mencoba………………..Menumbuhkembangkan Buah Hati yang Literate.
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar