Oleh: Dra Erna Hikmati Hidayah
Masih ingat dengan tulisan tentang Strategi BUKUKU? Yup: Strategi 'Buku Untukku dan Anakku'. Tulisan saya tersebut menceritakan tentang strategi untuk menumbuhkembangkan Literasi pada anak. Pada strategi tersebut, orangtua memiliki inisiatif yang kreatif dengan membukukan setiap coretan tangan anak dan dirinya. Salah satu syarat strategi 'BUKUKU' dapat terwujud, adalah adanya orangtua yang sadar literasi.
Sadar literasi merupakan dua buah kata yang gampang ditulis, namun berat untuk dilaksanakan, jika tidak muncul dari dalam diri pribadi orangtua. Literasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tulis menulis, dan melek aksara. Literasi dapat dikatakan melek IPTEK, melek ilmu agama, ilmu politik, kemasyarakatan, berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Jika literasi hanya untuk diri sendiri, penulis menganggap literasinya belum bermakna/ belum sadar literasi.
Seseorang atau katakanlah orangtua yang sadar literasi akan memiliki sikap cerdas, jeli, pembelajar, berbudaya, dan mampu membaca lingkungannya, serta mampu mengaktualisasikan dalam sebuah tulisan.
Bagaimana dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini? Apakah jumlah penduduk yang tinggi memiliki kesadaran literasi yang tinggi pula? Ternyata belum. Saya katakan belum, untuk menunjukkan optimisme bahwa suatu saat masyarakat Indonesia akan memiliki kesadaran literasi yang tinggi, dengan dimulai dari kita dan keluarga kita.
Kecenderungan kemampuan anak dalam membaca, matematika dan sains menurut PISA (Programe for International Student Assesment) menunjukkan kecenderungan meningkat.
Namun peningkatan tersebut tidak akan bermakna jika anak tidak peka dan peduli terhadap sekitarnya. Sesungguhnya dalam dunia pendidikan yang paling penting adalah kemampuan anak memberikan manfaat terhadap orang lain, dengan caranya masing-masing.
Kondisi keluarga di Indonesia saat ini, masih mengandalkan apa yang dapat dilihat (visual) dan didengar (audio) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Dan memang kalau mau bukti nyata, kita dapat melihatnya sekilas di kehidupan masyarakat. Di pagi hari hingga malam hari, sebelum dan sepulang bekerja atau saat suami bekerja (jika perempuan), keluarga-keluarga di Indonesia disibukkan dengan menonton televisi.
Foto: google image
Rutinitas menonton televisi berpuluh-puluh jam dalam sehari, bukan merupakan aktifitas produktif dan bukan aktifitas literasi yang baik. Sebab sebagian besar keluarga menjadikan televisi sebagai hiburan dan berita gosip. Jarang yang memanfaatkannya untuk benar-benar menambah pengetahuan.Padahal terlalu banyak mengonsumsi hiburan, akan membuat diri menjadi dangkal dari kepekaan dan kepedulian dengan lingkungan sekitar. Dan banyak menonton televisi bukanlah contoh yang baik bagi anak-anak yang ada di dalam lingkungan keluarga tersebut.
Mengembalikan kebiasaan di zona nyaman, tanpa berpikir, menuju zona tidak nyaman adalah hal yang sangat berat. Namun hal ini wajib diupayakan, agar Indonesia tidak terus menenerus menjadi obyek bagi bangsa lain. Obyek penjualan berbagai produk fisik dan non fisik. Baik berupa barang maupun aplikasi gadget.
Ayo bangsa Indonesia. Kita bangkit dengan membuka mata. Melek kan mata hati kita. Di depan mata kita ribuan orang mengincar untuk menerkam kita dengan berbagai produknya. Jangan terus menerus menjadi obyek. Tiba saatnya kita menjadi subyek dalam perjuangan. Mulailah dari diri dan keluarga. Tidak peru melihat apa yang sudah dilakukan orang. Bertanyalah pada diri sendiri'" Kamu sudah lakukan apa?" Tuangkan ide-ide besarmu bersama keluargamu, dalam sebuah prasasti BUKUKU (Buku Untukku dan Anakku).
#LiterasiKeluarga
#LiterasiKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar